Setiap orang pasti melewati kegagalan dalam perjalanan menuju keberhasilan,tapi gak banyak orang yang bisa terima kata "GAGAL",dan hanya sebagian orang yang memandang kegagalan sebagai bagian proses yang sehat dan tidak ternilai untuk mencapai puncak.
Berani Gagal ; orang yang berani gagal adalah orang yang bisa belajar sesuatu dari satu masalah bahkan bisa berbalik menjadi satu hal yang perlu untuk kemajuan yang
bermanfaat dan itu biasanya butuh waktu yang agak lama.
Tidak ada kata "GAGAL" bagi orang yang masih ingin berjuang.Tidak seorangpun berhak mencap "Anda" sebagai seorang yang "GAGAL" kecuali "DIRI ANDA SENDIRI".
Anda belum "TAMAT" saat anda telah gagal sekali, anda "TAMAT" hanya saat anda "MENYERAH", hanya mereka
yang berani gagal yang dapat berharap mencapai kemajuan besar.
Realita :seseorang sering merasa dirinya tidak berguna ketika mengalami kegagalan dan tidak banyak orang yang berusaha untuk bangkit.
Contoh :kebanyakan orang bertahan pada pekerjaan bergaji rendah karna takut "GAGAL" bila mencoba sesuatu yang berbeda
Asal Gambar : Syedakmal
Entri Populer
-
Cara Mengajarkan Kaidah Gramatika l Sumber: Malakah Drs. Mardi Takwim, M.H.I. Dalam pengajaran nahwu dititik beratkan pada s...
-
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses dal...
-
طرائق تعليم اللغات الأجنبية المقصود بطريقة التعليم، الخطة الشاملة التي يستعين بها المدرس، لتحقيق الأهداف المطلوبة من تعلم اللغة. وتت...
-
http://www.ziddu.com/download/8899565/Huawei_Drivers_vt12.zip.html http://www.ziddu.com/download/11660735/Huawei_Drivers_vt12.zip.html
-
تدريس اللغة العربية على ضوء المدخل اللغوي الاجتماعي إعداد : د. هدايات مقدمة العلاقة بين اللغة والثقافة أوضح من أن تذكر، [1] فاللغة ا...
-
Metode Pembelajaran Bahasa Arab Metode Pembelajaran Bahasa Arab Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A. 1. Unsur-unsur Metode Semua pe...
-
Studi Prinsip Dasar Metode Pengajaran Bahasa Arab A. Muqaddimah Belajar Bahasa Arab (asing) berbeda dengan belajar bahasa ibu, oleh...
-
K etika saya mempunyai keinginan untuk mencapai memimpikan sesuatu..... "pasti" tidak lepas untuk menjalani proses yang harus saya...
-
Setiap orang pasti melewati kegagalan dalam perjalanan menuju keberhasilan,tapi gak banyak orang yang bisa terima kata "GAGAL" ,da...
Sunday, November 21, 2010
Saturday, November 20, 2010
Metode deduktif dan Induktif dalam pangajaran bahasa arab
Cara Mengajarkan Kaidah Gramatikal
Sumber: Malakah Drs. Mardi Takwim, M.H.I.
Dalam pengajaran nahwu dititik beratkan pada salah satu sarana untuk memperbaiki susunan uslub-uslub bahasa Arab yang merupakan satu satuan pelajaran yang terdiri dari kaidah-kaidah yang harus diajarkan dan diwajibkan bagi siswa untuk mengetahui dan memahaminya.
Demikian pula pelajaran nahwu ini, ditekankan pula penghafalan kaidah-kaidah, akan tetapi metode nahwu penggunaan kalimat, dari sini muncul ide-ide untuk mencari metode yang tepat dan handal untuk mengajarkan ilmu nahwu pada anak didik.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan mengetengahkan metode-metode yang berkaitan dengan pengajaran nahwu.
1. الطريقة القياسية (Metode Deduktif = Analogi)
Metode qiyas atau deduktif (analogi) adalah metode (cara) mengajarkan nahwu yang dimulai dengan pemaparan kaidah-kaidah lalu diikuti dengan pemberian contoh-contoh. Metode ini termasuk metode yang tertua dalam pengajaran ilmu nahwu, meskipun metode ini sudah lama tetapi masih dipergunakan dalam pengajaran bahasa Arab dan Departemen Pendidikan di negara Arab. Metode deduktif bentuk-bentuk kata dan pola-pola kalimat diambil dari bahan bacaan, dan diuraikan segi-segi tata bahasa baik mengenai sharaf maupun nahwu.
Metode al-Qiyas (deduktif) adalah cara mengajarkan nahwu yang terlebih dahulu guru memaparkan kaidah-kaidah kepada anak didiknya kemudian disusul dengan pemberian contoh-contoh dalam bentuk pola kalimat yang diambil dari bahan bacaan.
Tehnik penyajian metode al-qiyas (deduktif) dapat dilihat sebagai berikut:
a. Pemaparan kaidah-kaidah, yaitu guru menuliskan di papan tulis dengan terang dan jelas kemudian guru membacanya dan diikuti oleh para siswa dan secara berulang-ulang dan akhirnya para siswa dapat menghafalnya dan memahaminya.
b. Pemaparan contoh-contoh, yakni guru menjelaskan posisi kaidah-kaidah yang terdapat contoh-contoh sehingga siswa dapat memahaminya, kemudian guru mengadakan tanya jawab dengan para siswa, setelah jam pelajaran akan berakhir guru memberikan tugas-tugas kepada para siswa untuk diselesaikan di rumah di luar jam pelajaran yang telah ditentukan, baik dalam bentuk tugas mandiri maupun kelompok.
Dalam penggunan metode ini terdapat kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan. Kelebihannya adalah siswa dapat memahami kaidah-kaidah melalui contoh-contoh yang telah dijelaskan oleh guru pada jam pelajaran, sehingga siswa dapat menyelesaikan tugas-tugasnya di luar jam pelajaran. Kelemahannya adalah siswa dibebani penghafalan kaidah-kaidah tanpa menguasai perbendaharaan kosa kata dan guru terbebani kaidah-kaidah yang harus dituliskan di papan tulis.
2. الطريقة الاستقرائية (Metode induktif)
Metode istigra’i disebut juga metode induktif atau metode Herbert karena dia menggunakan metode ini. Metode ini mulai dipergunakan di sekolah-sekolah negara Arab ketika delegasi Arab dari Eropa kembali ke negara mereka pada awal abad ke XX.
Dalam proses belajar mengajar metode ini dimulai dari pemaparan contoh-contoh dengan memperbanyak latihan-latihan yang dimulai dari bahagian (yuz’i) untuk sampai kepada generalisasi atau kaidah-kaidah yang umum.
Pendukung metode ini berpendapat bahwa metode inilah yang paling alamiah yang dilalui oleh pemikiran untuk sampai kepada pengetahuannya dan membuka tabir yang terselubung dan menjelaskan hal-hal yang kabur, dan metode ini guru sebagai penuntun atau supervisor. Dan sikap para siswa sangat positif karena mereka berusaha sendiri untuk memahami kaidah-kaidah yang terdapat dalam contoh-contoh tersebut dan siswalah yang melaksanakan praktek bahasa.
Metode penyajian metode istigra’i (induktif) adalah:
a. Tehnik penyajian I: yakni dengan pemaparan contoh-contoh kemudian kaidah-kaidah. Pemaparan ini disebut juga pemaparan contoh-contoh yang bervariasi atau contoh yang beragam, cara pemaparan contoh yang berlainan disebabkan karena terkadang contoh-contoh yang dipaparkan sangat bervariasi dan tidak ada kaitannya dengan contoh yang lain.
Berkaitan dengan keterangan tersebut di atas, maka metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan, yaitu guru kelas dapat memilih contoh-contoh yang mudah dan membantu guru dalam proses belajar mengajar dan mempermudah serta mempercepat pemahaman para siswa terhadap kaidah-kaidah karena mereka telah memahaminya melaui contoh-contoh yang telah dijelaskan. Sedangkan kelemahannya adalah dalam penyajian materi banyak dijumpai siswa yang lari pada jam pelajaran, karena siswa menganggap proses belajar mengajar tidak tepat dan sulit untuk diketahui dan dipahami karena pemberian contoh-contoh yang bervariasi dan beragam dan tidak berkaitan antara satu dengan yang lain.
b. Tehnik II: yaitu metode pemaparan teks (nas) kemudian contoh-contoh disusul dengan kaidah-kaidah nahwu.
Metode pemaparan teks (nas) ini disebut juga metode uslub-uslub atau metode teks (nas) yang sudah terkorelasi semuanya. Dengan judul-judul yang terambil dari bahan sejarah, kesusasteraan Arab, surat kabar harian atau majalah mingguan, bulanan yang khususnya membicarakan tema-tema aktual yang sedang terjadi, di depan mata siswa dan didengarnya secara langsung.
Metode ini dalam proses belajar mengajar mempunyai tehnik-tehnik penyajian antara lain sebagai berikut:
1). Guru menerangkan dan menjelaskan teks-teks bacaan tersebut dan mengeluarkan contoh-contoh yang difokuskan pada materi nahwu dan menjelaskan kaidah-kaidah yang terdapat dalam bacaan tersebut.
2). Hendaknya para siswa banyak mengajukan pertanyaan pada guru agar dapat menyelesaikan teks-teks bacaan yang ada.
Kelebihan metode ini adalah siswa merasakan korelasi atau hubungan yang kuat dengan bahasa Arab yang sedang dipelajarinya dan mampu membandingkan ciri-ciri khusus i’rab dalam teks-teks bacaaan lain. Sekaligus sebagai pendorong bagi siswa untuk mencintai dan memahami ilmu nahwu, sehingga menghasilkan cara menta’bir yang benar yang menjadikan siswa semakin mantap dalam memahami bahasa Arab.
Kelamahannya adalah guru dibebani membuat bagian satuan pelajaran dan tidak memperlihatkan ushlub-ushlub, bahkan apa yang dianggapnya baik dari semula, dan terkadang para guru terpaksa memperpanjang bagan-bagan tersebut sampai mampu memaparkan contoh seluruh aspek qawaid/kaidah-kaidah dan bagian-bagiannya.
Tuesday, October 26, 2010
تدريس اللغة العربية على ضوء المدخل اللغوي الاجتماعي إعداد : د. هدايات
تدريس اللغة العربية على ضوء المدخل اللغوي الاجتماعي
إعداد : د. هدايات
مقدمة
العلاقة بين اللغة والثقافة أوضح من أن تذكر، [1] فاللغة العربية – كغيرها من اللغات البشرية- وعاء الثقافة أي وعاء الثقافة العربية، فاللغة العربية هي الوسيلة الأولى – والوحيدة في كثير من المجالات – للتعبير عن الثقافة العربية . فلغة العرب وثقافتهم تسيران يدا بيد. ومن العسير على الدارسين غير الناطقين باللغة العربية - بما فيهم الدارسون الإندونيسيون – أن يفهموا اللغة العربية فهما دقيقا ويستخدموها استخداما جيدا دون أن يفهموا ما يرتبط بها من مفاهيم ثقافتها العربية.
لذا فلا غرابة إذا كان الاتجاه السائد في تعليم اللغة العربية اليوم تمكين الدارسين من الكفاية الثقافية (cultural competence) إلى جانب الكفاية اللغوية والكفاية الاتصالية [2] . حيث يتم تزويد الدارس بجوانب متنوعة من ثقافة اللغة، وهي هنا الثقافة العربية الإسلامية، يضاف إلى ذلك أنماط من الثقافة العالمية العامة التي لا تخالف أصول الإسلام. وبعبارة أخرى أن المدخل الذي تعتمد عليه أعمال التدريس هو المدخل اللغوي الاجتماعي (the sosiolinguistic approach) ، لا مجرد المدخل اللغوي (the linguistic approach) الذي يهتم بدراسة اللغة في حد ذاتها وتركيبها الداخلى والخارجي بغض النظر عن وظائفها وكيفية اكتسابها، ولذلك فإن جوانب هذا المدخل تتركز فى النصوص والأحاديث المسجلة، وهويصنف مكونات اللغة، ويبحث عن العلاقات الموجودة بينها طبقا للمستويات التقليدية وهي: الصوتية، والمعجمية، والنحوية، ولا مجرد المدخل اللغوي النفسي (the psycholinguistic approach) الذي يرى اللغة ظاهرة نفسية تهتم بسلوك الفرد الظاهر والكامن، وعلى ذلك فاللغة من هذه الناحية فرع من فروع علم النفس، وعموما فإن هذا المدخل يهتم بصفة أساسية بدراسة اكتساب اللغة وعلاقتها بالإدراك الإنساني، والإعمال النفسي وراء فهم الكلام وإنتاجه.
أولا – الثقافة وجوانبها
الثقافة مصطلح خاضت فى إظهار مفهومه وتحديد مدلوله أقلام الباحثين وآراء العلماء , فمنهم من ضيق دائرة المدلول ومنهم من وسعها. منهم من حصر الثقافة فى نطاق محدد ومنهم من أطلق المجال لمعناها. ولقد اتسعت هوة الخوض فى تحديد مفهوم الثقافة حين استدعى الأمر ضرورة المقارنة بين مصطلح الثقافة وبين غيره من المصطلحات الأخرى . ومن هنا لا نعجب حين نجد للثقافة أكثر من مفهوم.
فمن الباحثين من حصر مفهوم الثقافة فى الجانب العملى للحياة .. ذلك الجانب الذى ينتقل من جيل إلى جيل عن طريق التلقين والتبليغ . أى أن الثقافة على حد تعبيرهم (هى السلوك الذى ينتقل عن طريق التعلم من جيل إلى جيل) . ومن الباحثين من أطلق الثقافة على الجانب النظرى وقصرها على الأمور المعنوية فقال ( الثقافة مصطلح يطلق على الجانب الروحى أو الفكرى)، ومن الباحثين من أطلق مصطلح الثقافة على معنويات الأمور ومادياتها, وعلى الجانب النطرى منها وعلى الجانب العملى .. دينيا كان أم دنيويا، فقال (تشمل الثقافة ما يتلقاه الفرد عن الجماعة من مظاهر العلوم والفنون والمعارف والفلسفة والعقائد، ويشمل التراث الثقافى أمور معنوية وأخرى مادية ولا تقل إحداهما أهمية عن الأخرى) [3]
وإذا اعتبرنا كلمة (الثقافة) ترتبط ارتباطا واضحا بالعقل ينبغي أن نميل إلى التعريف الأخير الذى يطلق كلمة (الثقافة) على كافة العلوم والمعارف سواء فى ناحيتها النظرية أو ناحيتها التطبيقية , لأ ن العقل يتشعب عمله إلى شعبتين رئيسيتين، هما شعبة الأفكار والتصورات والمعتقدات التي هي الأمور النظرية . وشعبة السلوك والتطبيقات والتجارب التي هي الأمور العملية.
والثقافة - نظرا إلى أن ينبوعها العقل - تشمل جميع جوانبها النظرية مثل علم الاجتماع والنفس والنحو والصرف الخ، كما تشمل العلوم التجريبية مثل الطب والهندسة، والطبيعة والكيماء الخ، بل تشمل العلوم النظرية في جانبها العملى والتطبيقي ... أى تطبيق القواعد النظرية للعلم على ما يتعلق بموضوعه من مسائل.
ثانيا - الثقافة العربية الإسلامية وجوانبها
وبعد أن تبين معنى الثقافة بكل جانبيها النظري والعملي فليس من العسير معرفة معنى القافة العربية. وهي جميع ما أنتجه العقل العربي كما تضمنه التعريف الأخير للثقافة بصورة عامة. فالثقافة العربية تشمل جوانبها النظرية العربية وجوانبها التجريبية العربية وجوانبها العملية والتطبيقية، ولا حاجة في هذه المقالة القصيرة إلى ذكر تفاصيلها.
أ- الثقافة العربية الإسلامية
والكفاية الثقافية التي يتم تزويد الدارس بها عند تعلمهم اللغة العربية – كما ذكر سابقا - هي الثقافة العربية الإسلامية. فما هي الثقافة العربية الإسلامية ؟
ومعلوم أن كل أمة ثقافة معينة تمتاز بها عن غيرها من الأمم، و أن ثقافة كل أمة تقوم أول ما تقوم على القيم السائدة في تلك الأمة، وهي في العادة وثيقة الصلة بعقيدتها وفكرها, وكذلك سلوكها ونمط حياتها، وما تريد تحقيقه من أهداف, وما تتطلع إليه من غايات، وهي وثيقة الصلة جدا بتراث الأمة الروحي والنفسي، كما هي محور تاريخ الأمة .
ولما كان الإسلام يعتنقه الأكثرية الغالبة من الأمة العربية فإن القيم السائدة على ثقافة الأمة العربية هي القيم الإسلامية، أوبعبارة أخرى أن الثقافة العربية هي الثقافة التي تغلب عليها القيم الإسلامية.
ب- جوانب الثقافة العربية الإسلامية
ويمكن أن نقول – وفقا لما سبق ذكره - إن الثقافة العربية الإسلامية تعني مفهوم الثقافة في ميزان الإسلام …إنه لا يختلف في قليل أو كثير عن نظيره في ميزان الأديان والمذاهب الأخرى، فإنها في نظر الإسلام تشمل كذلك الأشياء المعنوية والمادية والأمور النظرية والتطبيقية والمسائل الدينية والدنيوية ... إلا أن الثقافة الإسلامية هي الثقافة الوحيدة التي تعد فيها العقيدة – أي عقيدة التوحيد – هي اساس كل شيء وقاعدة كل أمر ... وهذا يعني أن كافة العلوم والمعارف وسائر جوانب الثقافة لا بد أن تكون في إطار العقيدة ملتزمة بأركانها وقواعدها، غير متجاوزة حدودها [4] .
وهذا هو جوهر الفرق بين الثقافة في ملة الإسلام وفي تصور ما عداها من الملل والنحل التي تجعل العقيدة عنصرا ومظهرا من مظاهر الثقافة، فتنزل بها إلى حضيض الجزئيات الضئيلة التي تؤلف مع بعضها البعض كيان الثقافة – الغير الإسلامية – الخاضعة لتغيرات المفاهيم والتصورات البشرية . وهذا المعنى متناف أشد التنافي مع سماوية العقيدة وألوهية الدين
أما مظاهر الثقافة الحديثة والمعاصرة والتي جاءت من الغرب فلا جناح أن يتناولها العرب وغيرهم من المسلمين بما فيهم دارسو اللغة العربية بشرط أن لا تتنافى مع أسس الإسلام ومبادئه الكلية. وهكذا تضم الثقافة العربية الإسلامية الجوانب الإسلامية من أصول العقيدة والعبادة والأخلاق والمعاملات المالية والأحوال الشخصية والعقوبات والجهاد والعلاقات الدولية وعلاقات الإسلام بالتيارات المعاصرة [5]
ثالثا - اللغة العربية وخصائصها
وأصبح من المعروف أن اللغة العربية جزء لا يتجزأ عن الثقافة العربية الإسلامية ككل، وأنها في نفس الوقت أهم وسيلة للتعبير عن هذه الثقافة كما أنها تناولت ما حث عليه القرآن الكريم – مصدر أول وأساسي للثقافة الإسلامية - من شؤون التأليف الدقيق، بفضل انتشار الإسلام في أمم ذات ثقافات عريقة، في الرياضة والفلك والطبيعة والكيمياء والمنطق والفلسفة وفنون اللغة والنقد الأدبي وتاريخ الأدب وغيرها من مظاهر الثقافة العامة.
هذا ولقد أثر القرآن في تقوية سلطان اللغة العربية التي من شأنها التعبير عن الثقافة الإسلامية كما أثر في تهذيب هذه اللغة وتنقيحها والنهوض بها إلى أرقى مستوى لغات الأدب ويبدو هذا الأثر في مختلف النواحي اللغوية: في الأغراض والمعاني والأخيلة والأساليب والألفاظ. وكان من آثار القرآن كذلك قضاؤه على كثير من الألفاظ العربية الجاهلية التي تدل على نظم حرمها الإسلام كأسماء الأيام والأشهر لاتصال بعضها في أذهان العرب بشؤون وثنية أو نظم جاهلية قائمة على الشرك وعبادة الأصنام واستبدل بها أسماءها الإسلامية الحالية.
وبالنظر إلى أن اللغة العربية وعاء الثقافة العربية الإسلامية وأنها في نفس الوقت وليدة الثقافة العربية الإسلامية ذاتها، فلا عجب إذا كانت للغة العربية خصائص تتمثل فيها – قليلا أو كثيرا - خصائص الثقافة العربية كما قدمه رشدي أحمد طعيمة حيث يمكن تقديمه هنا على سبيل الإيجاز [6] :
1- أن اللغة العربية من ناحية الأصوات لغة غنية بأصواتها،
2- أنها من الناحية الصرفية لغة اشتقاق وصيغ وتصريف،
3- أنها من الناحية النحوية لغة إعراب ولغة غنية في التعبير متنوعة أساليب الجمل وغنية بوسائل التعبير عن الأزمنة النحوية
4- أنها من ناحية المفردات لغة تتميز بظاهرة النقل بالنسبة لوظائف اللغة والجمل، فالمعنى الواحد يمكن التعبيير عنه بصيغة ثم يعبر عنه بصيغة أخرى.
5- أنها لغة تزاحمها العامية، بمعنى أن العربية لتاريخها العريق الطويل ولسعة انتشارها بين شعوب مختلفة اللغات قد تباعدت فيها المسافة بين العربية الفصحى والعاميات
وبعبارة أقرب تمثيلا إلى الثقافة العربية ذكرت بنت الشاطئ أهم خصائص اللغة العربية بقولها : واستقرت – أي اللغة العربية – على ضوابط للتأنيث والتذكير ، وللإفراد والتثنية والجمع، وميزت المعلوم من المجهول، والمعرفة من النكرة، وتصرفت في المادة اللغوية بصيغ مطردة لكل منها دلالتها المحددة، وتصرفت في الفعل لضبط الزمن تحديدا للماضي المطلق والقريب والحاضر والمستقبل القريب والبعيد والمطلق، واستخدمت الضمائر وأسماء الإشارة والأسماء الموصولة بدقة وإحكام، للمتكلم والمخاطب والغائب ، مفردا ومثنى وجمعا. كما حكمت المعاني بصيغ المشتقات ، ونسق الألفاظ . فبقدر ما توسعت في الاشتقاق والمجاز ... ضيقت باب الأخذ من الدخيل ... ولم تلجأ إلى استعارة الدخيل إلا عند الضرورة القصوى، مع إخضاعه للصيغ العربية إما بالإلحاق أو بتغيير نطقه إشعارا بتعريبه [7]
رابعا: الثقافة الإسلامية في تعليم اللغة العربية
العلاقة بين الإسلام واللغة العربية – كما ذكر - أصيلة وثابتة لا يشك فى أهميتها الباحثون المسلمون وغير المسلمين. وأصبح الاهتمام بالروح الإسلامية فى مناهج اللغة العربية يمثل أمرا ضروريا، ويزداد الأمر وضوحا إذا رأينا الحقائق من عدد كبير من المسلمين الذين يقبلون على تعلم العربية لغرض إسلامى محض كى يتسنى لهم التعرف على الإسلام ومصدريه الأصليين القرآن الكريم والحديث الشريف، حتى يتمكنوا فى ضوء ذلك من ممارسة الحياة الإسلامية، أو لغرض متابعة دراستهم الجامعية فى الجامعات العربية فهم يقبلون على العرب لأنها لغة التعليم. إن سد حاجة هاتين الطائفتين من الدارسين هو الأصل فى إنشاء معاهد تعليم اللغة العربية في البلاد غير العربية .
وحتى بالنسبة لمن يرغبون فى الاتصال بالبلاد العربية لأجل العمل في الهيئات الدبلوماسية أوالصحافة أو لأجل الاتصال بأعمال الشركات والأعمال التجارية فإن الثقافة الإسلامية - في قليل أو كثير - تمثل أمرا لا مفر منه لأن ثقافة العرب في أساسها هي الثقافة الإسلامية. وفى ضوء ما سبق ... فخلوّ خطط الدراسة ومناهجها من عناصر الثقافة الإسلامية يجعلها جافة خالية من الروح وتقلل من أهمية دراستهم. لذلك ينبغى أن تسود الثقافة الإسلامية المواد اللغوية المقدمة فى تعليم اللغة العربية للأجانب [8]
خامسا : اتجاهات لتقديم الثقافة العربية الإسلامية
يرى يونس وجود اتجاهين فى تقديم الثقافة الأجنبية ، بما في ذلك تقديم الثقافة العربية الإسلامية، هما :
1- تخصيص وقت لتعليم الثقافة
2- عدم تخصيص وقت لذلك
ويفضل الاتجاه الثانى وخاصة فى المراحل الأولى من تعليم اللغة حيث يكون الدارسون غير قادرين على استيعاب الثقافة من خلال استخدام اللغات الأجنبية التى يتعلمونها . ومعنى هذا أن الاتجاه الأول يمكن الأخذ به فى المراحل المتقدمة من تعليم اللعة ... ومن هنا كان التدريس بالاتجاه الثانى أفضل وذلك لأننا لانهدف إلى تدريس الثقافة فى حد ذاتها , بل نهدف إلى تدريس اللغة من خلال محتواها الثقافى إذ أن هدف تعليم اللغة الأجنبية ليس الإشباع الفكرى فحسب , بل إن الهدف الأساسى والأهم هو الاتصال [9]
سادسا:تمثيل الثقافة العربية الإسلامية فى تعليم اللغة العربية كلغة أجنبية
ومن الأفضل أن ذلك يتم من خلال مواد المهارات اللغوية من قراءة ومطالعة, أو محادثة أو حوار, وقواعد نحوية أو نصوص أدبية , أو إملاء وخط مما يجعل الموضوعات المختارة فيها الاستشهاد والتمثيل بالنصوص القرآنية والأحادث النبوية لأنها أعلى درجات البلاغة والإحسان فى القول, على ألا يؤدى ذلك إلى المبالغة والتكلف ولا بأس كذلك من إيراد نصوص من الأمثال والحكم البليغة [10].
فمادة القراءة والمحادثة والنصوص يلاحظ في أهداف تعليمه، فضلا عن زيادة المعلومات والمفردات , والثروة اللغوية , وفى مستوى التعبير , وتذوق الجمال, ويلاحظ فيها الاختيار الهادف فى عرض سير الصالحين والعظماء , وتارخ حياتهم , ونماذج من أخلاقهم وسلوكهم, للتعريف بهم مثلا وقدوة فى السلوك
وفى المحادثة والحوارات مثلا حين يتدرب الدارس على نماذج من الصيغ والتراكيب التى تدور فى الحديث اليومى , يحسن أن تستمد من الآدب الإسلامية , كذلك التحية اليومية فى الحال والترحال هي السلام عليكم والدارس حين يتعلمها يتعلم – بالإضافة إلى أسلوب التحية اليومى – تعبيرا إسلاميا .
وفى النحو يجدر انتقاء الأمثلة من القرآن والسنة لتنمو فى الدارس خلال ذلك روح الإسلام والصفات الحميدة . إلا أن انتقاء الأمثلة فى النحو من القرآن الكريم ليس من الصواب – وخصوصا فى المستوى الأول- . ذلك لأن أسلوب القرآن الكريم أسلوب بليغ فوق قدرة المتعلم في المرحلة الأولى .
سابعا: جوانب الثقافة العربية الإسلامية عند التدريس
وإذا كانت الثقافة تشمل جميع ما أنتجه العقل البشرى من اللغة والدين- بمعناه التطبيقي- والعادات والتقاليد والأزياء، والمبانى والمعاملات والمواصلات ...الخ، فأى الجوانب الثقافية التي يتم تقديمها من خلال تدريس اللغة العربية كلغة أجنبية مع مراعاة المستوى اللغوى للدارس، وطبيعة المرحلة العمرية؟
وقد حدد ذلك بعض الخبراء في تعليم اللغات الأجنبية ، فقدم على سبيل المثال Mary تسعة ثقافية يمكن تقديمها للدارسين هي [11] :
1- مقدمات وتعريفات وتشمل: التحيات، تقديم النفس (ذكر الاسم) ذكر العمر، والعنوان...الخ.
2- الفصل الدارسى ويشمل: اسم وموقع وأجزاء حجرة الدراسة، واسم المادة التعليمية، وتحديد الأنشطة و البرامج...الخ.
3- المدرسة وتشمل: موقع الفصول، وأسماء العاملين بالدراسة، والقواعد والتعليمات المدرسية، والأنشطة المدرسية...الخ.
4- الأسرة وتشمل: أفراد الأسرة، والعلاقات والأعمار، والمنزل وحجراته...الخ.
5- المجتمع المحلى ويشمل: الخدمات الصحية، وخدمات النقل والاتصال، الحكومة المركزية، والأحداث الجارية...الخ.
6- المجتمع المحيط بالمدرسة ويشمل: المنازل، والخدمات البريدية، والتلفونية...الخ.
7- الإرشاد الثقافى ويشمل: الأعياد الدينية، والموسيقى، والغناء، والأداب، والفن...الخ.
8- الإرشاد الذاتى ويشمل: المجتمع، والتعليم، والمهن، وأوقات الفراغ، والقيم الروحية...الخ.
9- متفرقات وتشمل: ذكر الوقت، وقراءة الساعة، وأيام الأسبوع، الشهور، الفصول الأربعة، والطقس...الخ.
أما يونس فقد حدد عدة جوانب تلزم للمستوى الأول من تعليم اللغة العربية كلغة أجنبية للكبار هي: حاجات السفر، وطلب الطعام، والشراء بصفة عامة، وتحية الناس، والسؤال عن الوقت، والسؤال عن السكن، والاستماع الى الراديو ومشاهدة التليفزيون، وإعطاء تعليمات بسيطة، وقراءة الصحف العربية، والأدب والتاريخ العربي، وقراءة القرآن الكريم، وكتابة الخطابات وتسجيل الحوادث [12].
وأما بادى [13] فقد ذكر عشرة جوانب ثقافية لازمة للمستوى الأول من دراسة اللغة العربية للكبار فى المستوى الأول هي:
- التحيات والمجلات - الاتصال برجال الجمارك والشرطة - فى المطار
- الاستفسار وطلب المعلومات - قبول الدعوات ورفضها
- شراء الحاجات والنشاطات الأخرى كزيارة الأماكن العامة
- عادات وتقاليد أبناء اللغة فى منازلهم - الحجز بالفنادق أو فى منازل العائلات
- الاختلاط بالناس ومشاركة مشاغلهم الحيوية - الهوايات والأنشطة الداخلية والخارجية.
- زيارة عيادة الأطباء.
وأما طعيمة [14](11: 89-91) فقد حدد فى دراسته عشرين جانبا كل جانب يحتوى على عدة جوانب فرعية وقد بلغت تلك الجوانب الفرعية 122 جانبا فرعيا، والعشرون جانبا هي:
- البيانات الشخصية - السكن - العمل. - وقت الفراغ - السفر
- العلاقات مع الآخرين - المناسبات العامة والخاصة - الصحة والمرض
- التربية والتعليم - السوق - فى المطعم - الخدمات - البلدان والأماكن
- اللغة الأجنبية - الجو (المناخ) - المعالم الحضارية - الحياة الاقتصادية
- الدين والقيم الروحية - الاتجاهات السياسية والعلاقاتالدولية - العلاقات الزمانية والمكانية
على أن أهمية تلك الجوانب أو تفضيل جانب على آخر يتوقف على القطر أو الدولة التى تعلم فيها اللغة العربية،
وقد جمع فتحي علي يونس [15] الجوانب التي يصلح وضعها فى كتب تعليم اللغة العربية كلغة أجنبية
1- المعالم الحضارية 2- البيانات الشخصية 3- العلاقات الزمانية المكانية
4- العلاقات مع الآخرين 5- الخدمات 6- السفر
7- فى المطعم 8- فى السوق 9- النقود
10- الأعلام (الأسماء) 11- الأرقام 12- السكن
13- الصحة والمرض 14- الجو – المناخ 15- البلدان والأماكن
16- المناسبات العمة والخاصة 17- العمل 18- التربية والتعليم
19- وقت الفراغ 20- اللغة الأجنبية 21- الدين والقيم الروحية
22- الاتجاهات السياسية والعلاقات الدولية 23- الحياة الاقتصادية
الخاتمة
1- يقتضي تدريس اللغة العربية لغير الناطقين بها المعتمد على المدخل اللغوي الاجتماعي تمكين الدارسين من الكفايات الثلاث : الكفاية اللغوية والكفاية الاتصالية والكفاية الثقافية. أما الكفاية اللغوية فتضم المهارات اللغوية الأربع كما تضم العناصر اللغوية الثلاثة، وهي الأصوات والمفردات (والتعابير السياقية والاصطلاحية) والتراكيب الصرفية النحوية. وأما الكفاية الاتصالية فتهدف إلى إكساب الدارس القدرة على الاتصال بأهل اللغة من خلال السياق الاجتماعي المقبول بحيث يتمكن من التفاعل مع أصحاب اللغة مشافهة وكتابة، ومن التعبير عن نفسه بصورة ملائمة في المواقف الاجتماعية المختلفة. وأما الكفاية الثقافية فيتم بها تزويد الدارس بجوانب متنوعة من ثقافة اللغة، وهي هنا الثقافة العربية الإسلامية، يضاف إلى ذلك أنماط من الثقافة العالمية العامة التي لا تخالف أصول الإسلام.
2- هناك اتجاهان فى تقديم الثقافة العربية الإسلامية للدارسين، فالأول يتم فيه تعليم الثقافة في أوقات مخصصة، ويمكن الأخذ به فى المراحل المتقدمة من تعليم اللعة. والثاني لا يخصص فيه وقت لتعليم الثقافة، بل تقدم من خلال مواد المهارات من قراءة ومطالعة, أو محادثة أو حوار, وقواعد نحوية أو نصوص أدبية , أو إملاء وخط مما يجعل الموضوعات المختارة فيها الاستشهاد والتمثيل بالنصوص القرآنية والأحادث النبوية والحكم والأمثال البليغة على أن يكون ذلك مناسبة لمقدرة الدارس اللغوية والعقلية والنفسية، وألا يؤدى ذلك إلى المبالغة والتكلف. ويكون التدريس بالاتجاه الثانى أفضل، لأن تدريس اللغة لا يهدف إلى تدريس الثقافة فى حد ذاتها, بل يهدف إلى تدريس اللغة من خلال محتواها الثقافى حيث أن الهدف الأساسي من التدريس هو القدرة الاتصالية .
3- وقد عرض بعض الخبراء أمثال بادي ويونس وطعيمة وماري عدة جوانب يصلح تقديمها للمستوى الأول من تعليم اللغة العربية كلغة أجنبية، ولكن لا بد أن يكون تحديدنا لتلك الجوانب المقدمة على حذر، إذ أن اختيار المواد الدراسية للدارسين الإندونيسيين على أية حال يتوقف على الغرض الذي من أجله يدرسون هذه اللغة.
طرائق تعليم اللغات الأجنبية
طرائق تعليم اللغات الأجنبية
المقصود بطريقة التعليم، الخطة الشاملة التي يستعين بها المدرس، لتحقيق الأهداف المطلوبة من تعلم اللغة. وتتضمن الطريقة ما يتبعه المدرس من أساليب، وإجراءات، وما يستخدمه من مادة تعليمية، ووسائل معينة. وهناك-اليوم-كثير من الطرائق، التي تعلم بها اللغات الأجنبية، وليس من بين تلك الطرائق، طريقة مثلى، تلائم كل الطلاب والبيئات والأهداف والظروف، إذ لكل طريقة من طرائق تعليم اللغات مزايا، وأوجه قصور. وعلى المدرس أن يقوم بدراسة تلك الطرائق، والتمعّن فيها، واختيار ما يناسب الموقف التعليمي، الذي يجد نفسه فيه .ومن أهم طرائق تعليم اللغات الأجنبية ما يلي : أ- طريقة القواعد والترجمة. ب-الطريقة المباشرة. ج-الطريقة السمعية الشفهية. د- الطريقة التواصلية هـ- الطريقة الانتقائية . وسنعرّف لاحقاً باختصار بتلك الطرائق.
طريقة القواعد والترجمة:
من أقدم الطرائق التي استخدمت في تعليم اللغات الأجنبية، وما زالت تستخدم في عدد من بلاد العالم .تجعل هذه الطريقة هدفها الأول تدريس قواعد اللغة الأجنبية، ودفع الطالب إلى حفظها واستظهارها، ويتم تعليم اللغة عن طريق الترجمة بين اللغتين: الأم والأجنبية، وتهتم هذه الطريقة بتنمية مهارتي القراءة والكتابة في اللغة الأجنبية. ومما يؤخذ على طريقة القواعد والترجمة: إهمالها لمهارة الكلام وهي أساس اللغة، كما أن كثرة اللجوء إلى الترجمة، يقلل من فرص عرض اللغة الأجنبية للطلاب، أضف إلى ذلك أن المبالغة في تدريس قواعد اللغة الأجنبية وتحليلها يحرم الطلاب من تلقي اللغة ذاتها؛ فكثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها . تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس . وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تهتم هذه الطريقة بمهارات القراءة والكتابة والترجمة , ولا تعطي الاهتمام اللازم لمهارة الكلام.
2_ تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس .
3_تهتم هذه الطريقة بالأحكام النحوية , أي التعميمات , كوسيلة لتعليم اللغة الأجنبية وضبط صحتها.
4_ كثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها .
الطريقة المباشرة :
تمتاز هذه الطريقة بما يلي: الاهتمام بمهارة الكلام، بدلاً من مهارتي القراءة والكتابة، وعدم اللجوء إلى الترجمة عند تعليم اللغة الأجنبية، مهما كانت الأسباب، وعدم تزويد الطالب بقواعد اللغة النظرية، والاكتفاء بتدريبه على قوالب اللغة وتراكيبها، والربط المباشر بين الكلمة والشيء الذي تدل عليه، واستخدام أسلوب المحاكاة والحفظ، حتى يستظهر الطلاب جملاً كثيرة باللغة الأجنبية .ومما يؤخذ على هذه الطريقة: أن اهتمامها بمهارة الكلام، جعلها تهمل مهارات اللغة الأخرى، كما أن تحريمها استعمال الترجمة في التعليم (حتى عند الضرورة) يؤدي إلى ضياع الوقت، وبذل جهد كثير من المدرس والطالب، كما أنَّ الاعتماد على التدريبات النمطية، دون تزويد الطالب بقدر من الأحكام والقواعد النحوية، يحرم الطالب من إدراك حقيقة التركيب النحوي، والقاعدة التي تحكمه.
وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تعطي الطريقة المباشرة الأولوية لمهارة الكلام بد لا من مهارة القراءة والكتابة والترجمة , على أساس أن اللغة هي الكلام بشكل أساسي .
2_ تتجنب هذه الطريقة استخدام الترجمة في تعليم اللغة الأجنبية وتعتبرها عديمة الجدوى , بل شديدة الضرر على تعليم اللغة المنشودة وتعلمها .
3_ بموجب هذه الطريقة , فإن اللغة الأم لا مكان لها في تعليم اللغة الأجنبية .
4_ تستخدم هذه الطريقة الاقتران المباشر بين الكلمة وما تدل عليه , كما تستخدم الاقتران المباشر بين الجملة والموقف الذي تستخدم فيه . ولهذا سميت الطريقة بالطريقة المباشرة .
5_ لا تستخدم هذه الطريقة الأحكام النحوية , لأن مؤيدي هذه الطريقة يرون أن هذه الأحكام لا تفيد في إكساب المهارة اللغوية المطلوبة .
6_ تستخدم هذه الطريقة أسلوب " التقليد والحفظ " حيث يستظهر الطلاب جملاً باللغة الأجنبية وأغاني ومحاورات تساعدهم على إتقان اللغة المنشودة .
الطريقة السمعية الشفهية
من أهم أسس هذه الطريقة :عرض اللغة الأجنبية على الطلاب مشافهة في البداية، أما القراءة والكتابة، فيقدمان في فترة لاحقة، ويعرضان من خلال مادة شفهية، دُرِّب الطالب عليها .ينحصر اهتمام المدرس في المرحلة الأولى في مساعدة الطلاب على إتقان النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية، بشكل تلقائي. ولا يصرف اهتمام كبير في البداية لتعليم المفردات، إذ يكتفى منها بالقدر الذي يساعد الطالب على تعلم النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية . وترى هذه الطريقة وضع الدارس في مواجهة اللغة، حتى يمارسها ويستخدمها. ولا مانع من اللجوء إلى الترجمة، إذا استدعى الأمر ذلك. وينبغي استعمال الوسائل السمعية والبصرية بصورة مكثفة، واستخدام أساليب متنوعة لتعليم اللغة، مثل المحاكاة والترديد والاستظهار، والتركيز على أسلوب القياس، مع التقليل من الشرح، والتحليل النحوي.وبدلا من ذلك يتم تدريب الطلاب تدريباً مركزاً على أنماط اللغة وتراكيبها النحوية . ومما يؤخذ على هذه الطريقة، الاهتمام بالكلام على حساب المهارات الأخرى، والاعتماد على القياس، دون الأحكام النحوية، والإقلال من اللجوء إلى الترجمة.
الطريقة الانتقائية
ترى هذه الطريقة أن المدرس حر في اتباع الطريقة التي تلائم طلابه؛ فله الحق في استخدام هذه الطريقة، أو تلك. كما أن من حقه أن يتخيَّر من الأساليب، ما يراه مناسباً للموقف التعليمي، فهو قد يتبع أسلوبا من أساليب طريقة القواعد والترجمة، عند تعليم مهارة من مهارات اللغة، ثم يختار أسلوباً من أساليب الطريقة السمعية الشفهية في موقف آخر. وقد نبعت فلسفة هذه الطريقة من الأسباب التالية: لكل طريقة محاسنها التي تفيد في تعليم اللغة، ولا توجد طريقة مثالية تخلو من القصور، وطرائق التعليم تتكامل فيما بينها ولا تتعارض، وليس هناك طريقة تناسب جميع الأهداف والطلاب والمدرسين والبرامج. وتأتي الطريقة الانتقائية رداً على الطرق الثلاث السابقة . والافتراضات الكامنة وراء هذه الطريقة بإيجاز هي :
1_ كل طريقة في التدريس لها محاسنها ويمكن الاستفادة منها في تدريس اللغة الأجنبية .
2_ لا توجد طريقة مثالية تماماً أو خاطئة تماماً ولكل طريقة مزايا وعيوب وحجج لها وحجج عليها .
3_ من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث السابقة على أساس أن بعضها يكمل البعض الآخر بدل من النظر إليها على أساس أنها متعارضة أو متناقضة . وبعبارة أخرى , من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث على أنها متكاملة بدل من كونها متعارضة أو متنافسة أو متناقضة .
4_ لا توجد طريقة تدريس واحدة تناسب جميع الأهداف وجميع الطلاب وجميع المعلمين وجميع أنواع برامج تدريس اللغات الأجنبية .
5_ المهم في التدريس هو التركيز على المتعلم وحاجاته , وليس الولاء لطريقة تدريس معينة على حساب حاجات المتعلم .
6_ على المعلم أن يشعر أنه حر في استخدام الأساليب التي تناسب طلابه بغض النظر عن انتماء الأساليب لطرق تدريس مختلفة . إذ من الممكن أن يختار المعلم من كل طريقة الأسلوب أو الأساليب التي تناسب حاجات طلابه وتناسب الموقف التعليمي الذي يجد المعلم نفسه فيه .
الطريقة التواصلية الاتصالية
تجعل هذه الطريقة هدفها النهائي اكتساب الدارس القدرة على استخدام اللغة الأجنبية وسيلة اتصال، لتحقيق أغراضه المختلفة. ولا تنظر هذه الطريقة إلى اللغة، بوصفها مجموعة من التراكيب والقوالب، مقصودة لذاتها، وإنما بوصفها وسيلة للتعبير عن الوظائف اللغوية المختلفة، كالطلب والترجي والأمر والنهي والوصف والتقرير ...إلخ. وتعرض المادة في هذه الطريقة، لا على أساس التدرج اللغوي، بل على أساس التدرج الوظيفي التواصلي.ويتم العمل فيها عبر الأنشطة المتعددة، داخل الوحدة التعليمية. وتعتمد طريقة التدريس على خلق مواقف واقعية حقيقية، لاستعمال اللغة مثل: توجيه الأسئلة، وتبادل المعلومات والأفكار، وتسجيل المعلومات واستعادتها، وتستخدم المهارات لحل المشكلات والمناقشة والمشاركة ...إلخ
طريقة القواعد والترجمة:
من أقدم الطرائق التي استخدمت في تعليم اللغات الأجنبية، وما زالت تستخدم في عدد من بلاد العالم .تجعل هذه الطريقة هدفها الأول تدريس قواعد اللغة الأجنبية، ودفع الطالب إلى حفظها واستظهارها، ويتم تعليم اللغة عن طريق الترجمة بين اللغتين: الأم والأجنبية، وتهتم هذه الطريقة بتنمية مهارتي القراءة والكتابة في اللغة الأجنبية. ومما يؤخذ على طريقة القواعد والترجمة: إهمالها لمهارة الكلام وهي أساس اللغة، كما أن كثرة اللجوء إلى الترجمة، يقلل من فرص عرض اللغة الأجنبية للطلاب، أضف إلى ذلك أن المبالغة في تدريس قواعد اللغة الأجنبية وتحليلها يحرم الطلاب من تلقي اللغة ذاتها؛ فكثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها . تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس . وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تهتم هذه الطريقة بمهارات القراءة والكتابة والترجمة , ولا تعطي الاهتمام اللازم لمهارة الكلام.
2_ تستخدم هذه الطريقة اللغة الأم للمتعلم كوسيلة رئيسية لتعليم اللغة المنشودة . وبعبارة أخرى تستخدم هذه الطريقة الترجمة كأسلوب رئيسي في التدريس .
3_تهتم هذه الطريقة بالأحكام النحوية , أي التعميمات , كوسيلة لتعليم اللغة الأجنبية وضبط صحتها.
4_ كثيراً ما يلجأ المعلم الذي يستخدم هذه الطريقة إلى التحليل النحوي لجمل اللغة المنشودة ويطلب من طلابه القيام بهذا التحليل . واهتمامها بالتعليم عن اللغة المنشودة أكثر من اهتمامها بتعليم اللغة ذاتها .
الطريقة المباشرة :
تمتاز هذه الطريقة بما يلي: الاهتمام بمهارة الكلام، بدلاً من مهارتي القراءة والكتابة، وعدم اللجوء إلى الترجمة عند تعليم اللغة الأجنبية، مهما كانت الأسباب، وعدم تزويد الطالب بقواعد اللغة النظرية، والاكتفاء بتدريبه على قوالب اللغة وتراكيبها، والربط المباشر بين الكلمة والشيء الذي تدل عليه، واستخدام أسلوب المحاكاة والحفظ، حتى يستظهر الطلاب جملاً كثيرة باللغة الأجنبية .ومما يؤخذ على هذه الطريقة: أن اهتمامها بمهارة الكلام، جعلها تهمل مهارات اللغة الأخرى، كما أن تحريمها استعمال الترجمة في التعليم (حتى عند الضرورة) يؤدي إلى ضياع الوقت، وبذل جهد كثير من المدرس والطالب، كما أنَّ الاعتماد على التدريبات النمطية، دون تزويد الطالب بقدر من الأحكام والقواعد النحوية، يحرم الطالب من إدراك حقيقة التركيب النحوي، والقاعدة التي تحكمه.
وبإيجاز فإنّ هذه الطريقة تمتاز بما يلي :
1_ تعطي الطريقة المباشرة الأولوية لمهارة الكلام بد لا من مهارة القراءة والكتابة والترجمة , على أساس أن اللغة هي الكلام بشكل أساسي .
2_ تتجنب هذه الطريقة استخدام الترجمة في تعليم اللغة الأجنبية وتعتبرها عديمة الجدوى , بل شديدة الضرر على تعليم اللغة المنشودة وتعلمها .
3_ بموجب هذه الطريقة , فإن اللغة الأم لا مكان لها في تعليم اللغة الأجنبية .
4_ تستخدم هذه الطريقة الاقتران المباشر بين الكلمة وما تدل عليه , كما تستخدم الاقتران المباشر بين الجملة والموقف الذي تستخدم فيه . ولهذا سميت الطريقة بالطريقة المباشرة .
5_ لا تستخدم هذه الطريقة الأحكام النحوية , لأن مؤيدي هذه الطريقة يرون أن هذه الأحكام لا تفيد في إكساب المهارة اللغوية المطلوبة .
6_ تستخدم هذه الطريقة أسلوب " التقليد والحفظ " حيث يستظهر الطلاب جملاً باللغة الأجنبية وأغاني ومحاورات تساعدهم على إتقان اللغة المنشودة .
الطريقة السمعية الشفهية
من أهم أسس هذه الطريقة :عرض اللغة الأجنبية على الطلاب مشافهة في البداية، أما القراءة والكتابة، فيقدمان في فترة لاحقة، ويعرضان من خلال مادة شفهية، دُرِّب الطالب عليها .ينحصر اهتمام المدرس في المرحلة الأولى في مساعدة الطلاب على إتقان النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية، بشكل تلقائي. ولا يصرف اهتمام كبير في البداية لتعليم المفردات، إذ يكتفى منها بالقدر الذي يساعد الطالب على تعلم النظام الصوتي والنحوي للغة الأجنبية . وترى هذه الطريقة وضع الدارس في مواجهة اللغة، حتى يمارسها ويستخدمها. ولا مانع من اللجوء إلى الترجمة، إذا استدعى الأمر ذلك. وينبغي استعمال الوسائل السمعية والبصرية بصورة مكثفة، واستخدام أساليب متنوعة لتعليم اللغة، مثل المحاكاة والترديد والاستظهار، والتركيز على أسلوب القياس، مع التقليل من الشرح، والتحليل النحوي.وبدلا من ذلك يتم تدريب الطلاب تدريباً مركزاً على أنماط اللغة وتراكيبها النحوية . ومما يؤخذ على هذه الطريقة، الاهتمام بالكلام على حساب المهارات الأخرى، والاعتماد على القياس، دون الأحكام النحوية، والإقلال من اللجوء إلى الترجمة.
الطريقة الانتقائية
ترى هذه الطريقة أن المدرس حر في اتباع الطريقة التي تلائم طلابه؛ فله الحق في استخدام هذه الطريقة، أو تلك. كما أن من حقه أن يتخيَّر من الأساليب، ما يراه مناسباً للموقف التعليمي، فهو قد يتبع أسلوبا من أساليب طريقة القواعد والترجمة، عند تعليم مهارة من مهارات اللغة، ثم يختار أسلوباً من أساليب الطريقة السمعية الشفهية في موقف آخر. وقد نبعت فلسفة هذه الطريقة من الأسباب التالية: لكل طريقة محاسنها التي تفيد في تعليم اللغة، ولا توجد طريقة مثالية تخلو من القصور، وطرائق التعليم تتكامل فيما بينها ولا تتعارض، وليس هناك طريقة تناسب جميع الأهداف والطلاب والمدرسين والبرامج. وتأتي الطريقة الانتقائية رداً على الطرق الثلاث السابقة . والافتراضات الكامنة وراء هذه الطريقة بإيجاز هي :
1_ كل طريقة في التدريس لها محاسنها ويمكن الاستفادة منها في تدريس اللغة الأجنبية .
2_ لا توجد طريقة مثالية تماماً أو خاطئة تماماً ولكل طريقة مزايا وعيوب وحجج لها وحجج عليها .
3_ من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث السابقة على أساس أن بعضها يكمل البعض الآخر بدل من النظر إليها على أساس أنها متعارضة أو متناقضة . وبعبارة أخرى , من الممكن النظر إلى الطرق الثلاث على أنها متكاملة بدل من كونها متعارضة أو متنافسة أو متناقضة .
4_ لا توجد طريقة تدريس واحدة تناسب جميع الأهداف وجميع الطلاب وجميع المعلمين وجميع أنواع برامج تدريس اللغات الأجنبية .
5_ المهم في التدريس هو التركيز على المتعلم وحاجاته , وليس الولاء لطريقة تدريس معينة على حساب حاجات المتعلم .
6_ على المعلم أن يشعر أنه حر في استخدام الأساليب التي تناسب طلابه بغض النظر عن انتماء الأساليب لطرق تدريس مختلفة . إذ من الممكن أن يختار المعلم من كل طريقة الأسلوب أو الأساليب التي تناسب حاجات طلابه وتناسب الموقف التعليمي الذي يجد المعلم نفسه فيه .
الطريقة التواصلية الاتصالية
تجعل هذه الطريقة هدفها النهائي اكتساب الدارس القدرة على استخدام اللغة الأجنبية وسيلة اتصال، لتحقيق أغراضه المختلفة. ولا تنظر هذه الطريقة إلى اللغة، بوصفها مجموعة من التراكيب والقوالب، مقصودة لذاتها، وإنما بوصفها وسيلة للتعبير عن الوظائف اللغوية المختلفة، كالطلب والترجي والأمر والنهي والوصف والتقرير ...إلخ. وتعرض المادة في هذه الطريقة، لا على أساس التدرج اللغوي، بل على أساس التدرج الوظيفي التواصلي.ويتم العمل فيها عبر الأنشطة المتعددة، داخل الوحدة التعليمية. وتعتمد طريقة التدريس على خلق مواقف واقعية حقيقية، لاستعمال اللغة مثل: توجيه الأسئلة، وتبادل المعلومات والأفكار، وتسجيل المعلومات واستعادتها، وتستخدم المهارات لحل المشكلات والمناقشة والمشاركة ...إلخ
Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.
1. Unsur-unsur Metode
Semua pengajaran mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan (gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu pengajaran matemati-ka, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metoda (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6). Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari berbagai komponen yang berkaitan.
Seleksi materi dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut. Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja. Jadi semua metode, apakah itu metode terjemah, gramatika, langsung dan lain-lain untuk mengajarkan bahasa atau metode ceramah untuk mengajarkan tafsir, hadis dan lain-lain, sadar atau tidak sadar pasti memerlukan seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6).
Metode itu sendiri khususnya metode pengajaran bahasa ialah bagaimana cara mengajar dengan materi bahasa. Para pendidik akan memakai materi-materi itu, tetapi mereka tidak menjadi budak dari materi tersebut. Pendidik akan mengadakan perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan situasi kelasnya seperti mengada-kan latihan-latihan percakapan (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 71).
Sebelum seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi dilakukan, perlu diketahui terlebih dulu materi apa yang akan diajarkan, sebab materi bisa mempengaruhi seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Willian Francis Mackey: 1974, 155-157). Dalam hal ini materi yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu perlu diketahui sifat-sifat bahasa Arab, agar dengan demikian dapat ditentukan metode yang baik, mulai dari penentuan seleksi, penentuan gradasi, penentuan presentasi serta penentuan repetisi materi agar diperoleh keterampilan berbahasa.
Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu al-aswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien.
Semua pengajaran mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan (gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu pengajaran matemati-ka, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metoda (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6). Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi, gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari berbagai komponen yang berkaitan.
Seleksi materi dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut. Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja. Jadi semua metode, apakah itu metode terjemah, gramatika, langsung dan lain-lain untuk mengajarkan bahasa atau metode ceramah untuk mengajarkan tafsir, hadis dan lain-lain, sadar atau tidak sadar pasti memerlukan seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6).
Metode itu sendiri khususnya metode pengajaran bahasa ialah bagaimana cara mengajar dengan materi bahasa. Para pendidik akan memakai materi-materi itu, tetapi mereka tidak menjadi budak dari materi tersebut. Pendidik akan mengadakan perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan situasi kelasnya seperti mengada-kan latihan-latihan percakapan (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 71).
Sebelum seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi dilakukan, perlu diketahui terlebih dulu materi apa yang akan diajarkan, sebab materi bisa mempengaruhi seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi (Willian Francis Mackey: 1974, 155-157). Dalam hal ini materi yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu perlu diketahui sifat-sifat bahasa Arab, agar dengan demikian dapat ditentukan metode yang baik, mulai dari penentuan seleksi, penentuan gradasi, penentuan presentasi serta penentuan repetisi materi agar diperoleh keterampilan berbahasa.
Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu al-aswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien.
2. Tarik Menarik Metode
Sudah berkali-kali diadakan seminar dan diskusi mengenai metode pengajaran bahasa Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama RI dan IAIN (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 13)., namun kegiatan serupa masih saja sering digelar sampai dewasa ini. Ini menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa memberikan jawaban memuasakan mengenai cara bagaimana agar bahasa Arab itu menjadi mudah dikuasai oleh subyek didik.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi (Muljanto Sumardi et.al: 1975, 36). Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Sri Utari Subyakto Nababan: 1993, 14-5). Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip-prinsip linguistik (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 15). Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa agar pengajar merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajaran, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan yang cocok bagi dirinya sendir. (Muhammad Ali al-Khulli: 1982,.25-6).
Ada tiga metode yang dianggap inovatif yang muncul setelah metode Audio-Lingual hampir habis masa jayanya, yaitu metode Suggestopedia, Counseling-Learning dan The Silent Way (Azhar Arsyad: 2003, 22)
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji dalam buku-buku literatur kiranya sudah cukup lengkap, namun penentuan tentang metode yang tepat sering diperdebatkan. Permasalahannya adalah metode yang mana yang bisa menghasilan dua kemahiran bersamaan, yakni lancar membaca kitab kuning dan lancar berkomunikasi secara lisan. Permasalahan ini bermula dari anggapan adanya dua kemahiran yang berbeda dan bahkan berlawanan, yaitu: (1) Kalau mahir membaca kitab kuning maka lemah berkomunikasi secara lisan, dan (2) Kalau mahir berkomunikasi secara lisan maka lemah dalam membaca kitab kuning.
Sampai sejauh ini usaha menemukan metode untuk dua kemahiran yang “berbeda” tersebut menyebabkan tarik-menarik metode yang bergantian diterapkan di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Sekali waktu para alumninya biasanya dianggap sudah ahli membaca kitab kuning tetapi tidak cakap berbicara dalam bahasa Arab, dan pada waktu yang lain para alumninya dianggap sudah mahir berbicara tetapi lemah dalam membaca kitab kuning. Berganti-ganti dominasi “keterampilan” yang diharapkan sesuai dengan wawasan para pengelola lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Begitu juga metode yang diterapkannya berganti-ganti, sesuai dengan kemahiran yang diinginkan untuk para alumninya.
Manakala yang diinginkan adalah agar para alumninya itu memiliki keterampilan membaca kitab kuning, menterjemah, dan memahami isinya dengan tujuan agar langsung bermanfaat untuk menunjang kepentingan membaca literatur berbahasa Arab, maka proses pengajaran ditetapkan agar memakai metode untuk memperoleh keterampilan membaca kitab kuning.
Penetapan metode demikian ini sering kali berdasarkan asumsi bahwa ketidakmampuan berbicara dalam bahasa Arab (muhadatsah) bukan sebagai masalah karena yang dipentingkan adalah bisa membaca kitab dari pada mementingkan muhadatsah yang sering kali tidak dipergunakan, lagi pula praktek demikian biasanya dise-babkan adanya pandangan yang menganggap penerapan all in one system itu seperti kekanak-kanakan dalam belajar bahasa, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kalau yang diinginkan adalah para alumninya agar memiliki keterampilan berbicara maka metode yang diterapkan adalah metode untuk memperoleh keterampilan berbicara.
Dalam masalah tarik-menarik metode tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan membaca sering kali dengan cara memberikan teks kitab gundul sebagai latihan. Praktek yang berlangsung adalah menekankan pema-haman pelajaran gramatika yakni ilmu nahwu dan sharaf. Ada yang menganggap sudah tepat dengan menggunakan metode “Gramatika Terjemah” kalau yang dituju adalah kemampuan membaca (Chatibul Umam: 1980, 43).
Adapun yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan berbicara adalah metode langsung (direct method) yang menekankan pengucapan langsung menghindari penjelasan teoretis ilmu nahwu dan sharaf.
Masing-masing pemakai metode tersebut menonjolkan keung-gulannya sendiri serta menunjukkan kelemahan yang lain. Pada ta-taran ini diperlukan kesadaran kembali tentang keterampilan berbahasa. Sampai sejauh ini banyak yang beranggapan bahwa kemahiran membaca (kitab kuning) itu termasuk dalam keterampilan berbahasa. Demikian itu bisa jadi disebabkan beredarnya buku-buku teori pengajaran bahasa yang menerangkan bahwa ada empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak (مهارة الاستماع), berbicara (مهارة الكلام), membaca (مهارة القراءة), dan menulis (مهارة الكتابة) (Anonim: 1998, 6) Padahal empat macam keterampilan berbahasa tersebut muncul karena adanya tinjauan aspek reseptif-produktif secara terpisah dari kesatuan kemampuan berbahasa yang meliputi:
1. Aspek lisan reseptif, yaitu kemampuan memahami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara lisan;
2. Aspek lisan produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara lisan;
3. Aspek tulis reseptif, yaitu kemampuan memehami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara tertulis;
4. Aspek tulis produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara tertulis (Suyitno: 1986, 15).
Perlu dipahami bahwa teori-teori itu boleh jadi masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Hal ini mengingat bahwa keterampilan berbahasa Arab itu hanya dua, yakni mendengar dan berbicara, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian keterampilan berbahasa Arab. Di samping itu perlu disadari benar bahwa kasus tarik-menarik metode tersebut pada dasarnya muncul karena keberadaan tulisan bahasa Arab yang belum sempurna. Sederhana saja alasannya, bahwa tidak akan mungkin muncul kebutuhan untuk bisa mahir membaca tulisan bahasa Arab bila tulisannya sudah diberi syakal dengan lengkap. Begitu mudahnya membaca tulisan bahasa Arab yang sempurna sehingga tidak akan membutuhkan metode khusus.
Dalam kaitannya dengan anggapan bilamana metode “Gramati-ka Terjemah” itu sudah tepat untuk kemahiran membaca kitab kuning, maka anggapan itu akan gugur dengan sendirinya bila sudah diketahui fakta yang menunjukkan bahwa “Gramatika” bahasa Arab itu bukan alat untuk membaca tulisan.
Sudah berkali-kali diadakan seminar dan diskusi mengenai metode pengajaran bahasa Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama RI dan IAIN (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 13)., namun kegiatan serupa masih saja sering digelar sampai dewasa ini. Ini menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa memberikan jawaban memuasakan mengenai cara bagaimana agar bahasa Arab itu menjadi mudah dikuasai oleh subyek didik.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi (Muljanto Sumardi et.al: 1975, 36). Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Sri Utari Subyakto Nababan: 1993, 14-5). Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip-prinsip linguistik (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 15). Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa agar pengajar merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajaran, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan yang cocok bagi dirinya sendir. (Muhammad Ali al-Khulli: 1982,.25-6).
Ada tiga metode yang dianggap inovatif yang muncul setelah metode Audio-Lingual hampir habis masa jayanya, yaitu metode Suggestopedia, Counseling-Learning dan The Silent Way (Azhar Arsyad: 2003, 22)
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji dalam buku-buku literatur kiranya sudah cukup lengkap, namun penentuan tentang metode yang tepat sering diperdebatkan. Permasalahannya adalah metode yang mana yang bisa menghasilan dua kemahiran bersamaan, yakni lancar membaca kitab kuning dan lancar berkomunikasi secara lisan. Permasalahan ini bermula dari anggapan adanya dua kemahiran yang berbeda dan bahkan berlawanan, yaitu: (1) Kalau mahir membaca kitab kuning maka lemah berkomunikasi secara lisan, dan (2) Kalau mahir berkomunikasi secara lisan maka lemah dalam membaca kitab kuning.
Sampai sejauh ini usaha menemukan metode untuk dua kemahiran yang “berbeda” tersebut menyebabkan tarik-menarik metode yang bergantian diterapkan di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Sekali waktu para alumninya biasanya dianggap sudah ahli membaca kitab kuning tetapi tidak cakap berbicara dalam bahasa Arab, dan pada waktu yang lain para alumninya dianggap sudah mahir berbicara tetapi lemah dalam membaca kitab kuning. Berganti-ganti dominasi “keterampilan” yang diharapkan sesuai dengan wawasan para pengelola lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Begitu juga metode yang diterapkannya berganti-ganti, sesuai dengan kemahiran yang diinginkan untuk para alumninya.
Manakala yang diinginkan adalah agar para alumninya itu memiliki keterampilan membaca kitab kuning, menterjemah, dan memahami isinya dengan tujuan agar langsung bermanfaat untuk menunjang kepentingan membaca literatur berbahasa Arab, maka proses pengajaran ditetapkan agar memakai metode untuk memperoleh keterampilan membaca kitab kuning.
Penetapan metode demikian ini sering kali berdasarkan asumsi bahwa ketidakmampuan berbicara dalam bahasa Arab (muhadatsah) bukan sebagai masalah karena yang dipentingkan adalah bisa membaca kitab dari pada mementingkan muhadatsah yang sering kali tidak dipergunakan, lagi pula praktek demikian biasanya dise-babkan adanya pandangan yang menganggap penerapan all in one system itu seperti kekanak-kanakan dalam belajar bahasa, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kalau yang diinginkan adalah para alumninya agar memiliki keterampilan berbicara maka metode yang diterapkan adalah metode untuk memperoleh keterampilan berbicara.
Dalam masalah tarik-menarik metode tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan membaca sering kali dengan cara memberikan teks kitab gundul sebagai latihan. Praktek yang berlangsung adalah menekankan pema-haman pelajaran gramatika yakni ilmu nahwu dan sharaf. Ada yang menganggap sudah tepat dengan menggunakan metode “Gramatika Terjemah” kalau yang dituju adalah kemampuan membaca (Chatibul Umam: 1980, 43).
Adapun yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan berbicara adalah metode langsung (direct method) yang menekankan pengucapan langsung menghindari penjelasan teoretis ilmu nahwu dan sharaf.
Masing-masing pemakai metode tersebut menonjolkan keung-gulannya sendiri serta menunjukkan kelemahan yang lain. Pada ta-taran ini diperlukan kesadaran kembali tentang keterampilan berbahasa. Sampai sejauh ini banyak yang beranggapan bahwa kemahiran membaca (kitab kuning) itu termasuk dalam keterampilan berbahasa. Demikian itu bisa jadi disebabkan beredarnya buku-buku teori pengajaran bahasa yang menerangkan bahwa ada empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak (مهارة الاستماع), berbicara (مهارة الكلام), membaca (مهارة القراءة), dan menulis (مهارة الكتابة) (Anonim: 1998, 6) Padahal empat macam keterampilan berbahasa tersebut muncul karena adanya tinjauan aspek reseptif-produktif secara terpisah dari kesatuan kemampuan berbahasa yang meliputi:
1. Aspek lisan reseptif, yaitu kemampuan memahami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara lisan;
2. Aspek lisan produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara lisan;
3. Aspek tulis reseptif, yaitu kemampuan memehami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara tertulis;
4. Aspek tulis produktif, yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara tertulis (Suyitno: 1986, 15).
Perlu dipahami bahwa teori-teori itu boleh jadi masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu diuji kebenarannya. Hal ini mengingat bahwa keterampilan berbahasa Arab itu hanya dua, yakni mendengar dan berbicara, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian keterampilan berbahasa Arab. Di samping itu perlu disadari benar bahwa kasus tarik-menarik metode tersebut pada dasarnya muncul karena keberadaan tulisan bahasa Arab yang belum sempurna. Sederhana saja alasannya, bahwa tidak akan mungkin muncul kebutuhan untuk bisa mahir membaca tulisan bahasa Arab bila tulisannya sudah diberi syakal dengan lengkap. Begitu mudahnya membaca tulisan bahasa Arab yang sempurna sehingga tidak akan membutuhkan metode khusus.
Dalam kaitannya dengan anggapan bilamana metode “Gramati-ka Terjemah” itu sudah tepat untuk kemahiran membaca kitab kuning, maka anggapan itu akan gugur dengan sendirinya bila sudah diketahui fakta yang menunjukkan bahwa “Gramatika” bahasa Arab itu bukan alat untuk membaca tulisan.
3. Metode Pembelajaran Kosa Kata
Perbaikan sistem pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan formal diawali dengan Kurikulum Tahun 1976. Kurikulum tersebut mengembangkan sistem pengajaran bahasa Arab yang dikenal dengan all in one system. All in one system ini waktu itu merupakan gagasan Menteri Agama R I, Prof. Dr. HA. Mukti Ali. Metode yang digunakan adalah aural-oral approach, sesuai dengan perluasan tujuan pengajaran bahasa Arab, untuk mencapai semua kemahiran berbahasa (Abd. Rahman Shaleh: 1988, 8).
Dengan all in one system maka pengajaran didasarkan pada satu kesatuan materi dan bukan pada cabang-cabang materi bahasa Arab yang bermacam-macam. Dengan demikian materi pelajarannya meliputi materi membaca, mengungkapkan, menghafal, menulis, latihan nahwu sharaf, dan sebagainya yang kesemuanya saling berkaitan (Abd al-’Alim Ibrahim: tt., 34).
Kelihatan bahwa metode yang digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien.
Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu.
Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan (Chatibul Umam: 1980 43). Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa memahami makudnya, ke-mudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsug tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat.
Terdapat metode yang mendahulukan bercakap-cakap dan membaca. Metode ini amat disukai sebab bahasa yang dipelajari itu sudah boleh digunakan untuk bercakap-cakap dengan sesamanya. Metode demikian sesuai dengan prinsip belajar bahasa, bahwa belajar bahasa hendaknya tidak disibukkan dengan berbagai aturan tata bahasa tetapi cukup ditiru, dipahami dan dipakai dalam percakapan. Metode belajar bahasa secara langsung tanpa terjemahannya disebut sebagai metode langsung atau The Direct Method atau Natural Method atau Oral Method atau Modern Method atau Berlitz Method (Mahmud Junus: 1979, 23). Akan tetapi bagaimana bisa langsung bercakap-cakap kalau tidak memiliki kosa kata sama sekali? Karena itu perlu lebih dulu menghafal kosa kata.
Kalau dipergunakan metode langsung maka akan memakan waktu lama hanya untuk memahami satu atau dua kata saja. Apa salahnya bila diberikan kosa kata dengan terjemahannya langsung? Kemudian kata yang sudah dihafal itu digabung dengan kata yang lain yang juga sudah dipahami, selanjutnya dipergunakan dengan berulang-ulang dalam percakapan. Dalam memberikan makna atau arti kata tidak harus mempersulit diri, misalnya dengan keterangan langsung tanpa terjemah. Jadi perlu diperhatikan bahwa menerangkan dengan bahasa asalnya yang asing (Arab) itu hanya sekedar untuk motivasi agar murid atau mahasiswa tidak menggunakan bahasa sendiri, sehinga bersungguh-sungguh dalam mempergunakan bahasa Arab. Ini bisa disiasati cukup dengan menunjukkan artinya, kemudiuan tidak mengucapkannya kecuali dengan bahasa Arab.
Dari telaah terhadap berbagai metode, ada beberapa metode yang patut diperhatikan dalam menguasai kosa kata dengan efisien dan efektif. Pertama, Mimmem Method (Mimicry and Memorization Method). Metode ini untuk menghafal. Meskipun metode ini sering diterapkan dengan penyampaian kalimat utuh lebih dulu tetapi akan lebih baik bila diterapkan dengan penyampaian unsur paling kecil dalam kalimat, yakni kata. Dalam mempraktekkan Mimmem Method ini perlu digabung dengan metode kedua, yakni Language Control Method sehingga perolehan kosa katanya terkontrol mulai dari yang paling mudah dan sederhana sampai dengan yang paling sukar (Juwairiyah Dahlan, 1992, 116). Penggunaan metode ini akan menjadi benar-benar terkontrol bila diikuti dengan pemanfaatan metode ketiga, yaitu Phonetic Method, di mana metode ini lebih membiasakan pendengaran terhadap kata-kata terpendek dan selanjutnya pada kalimat yang panjang (Juwairiyah Dahlan: 1992, 112).
Penggunaan alat-alat peraga itu bisa disiasati dengan langsung saja diterangkan tanpa harus menghabiskan waktu dan beaya. Sebenarnya sederhana sekali belajar kosa kata dan cara menghafalnya, yakni dengan digabung dengan kata-kata yang lain agar cepat bisa menggunakan dan teringat terus. Kalau ini dikatakan sebagai metode eklektik maka sebutan itu perlu dibatasi dengan cara mengambil yang efektif dan efisien saja, sehingga tidak mempersulit diri seperti ketika memakai metode langsung dengan mempersiapkan alat peraga yang biasanya terlalu mahal yang ternyata hanya untuk memahami satu kosa kata saja. Adapun metode-metode lainnya itu hanya sekedar untuk mengusir kebosanan.
Dalam hal teori mengajarkan bahasa Arab, maka dikenal ada dua, yakni teori kesatuan (Nadhoriyat al-Wihdah) dan teori bagian-bagian (Nadhoriyat al-Furu’). Untuk yang pertama sesuai de-ngan teori gestalt yakni memahami secara keseluruhan lebih dulu selanjutnya memahami bagian-bagian terkecil yang perlu dipahami (Mahmud Junus: 1979, 26). Dalam kenyataannya dua teori tersebut akan dipakai pada kebutuhan tertentu, tidak bisa dipisahkan dalam arti tidak diperlu-kan salah satunya dalam praktek pembelajaran bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa pada kasus tertentu diperlukan penelaahan untuk bagian-bagian terkecil. Oleh karena itu kedua terori tersebut akan diperlukan pada waktu yang berbeda. Tidak perlu diperdebatkan keunggulan dan kelemahannya karena setiap teori memiliki kelemahan dan juga keunggulan.
Adapun gambaran konkret untuk bahan ajar materi kosa kata kiranya dapat dipergunakan buku Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Imam Zarkasyi dan Imam Syubani: t.t.) yang mana setiap awal bahasannya dimulai dengan pengenalan kosa kata lebih dulu. Penggunaan buku tersebut tidak harus dengan metode langsung yang bisa memakan waktu lama tetapi cukup sederhana dengan efektif dan efisien dalam memberikan penjelasan arti untuk masing-masing kosa kata. Modifikasi metode ‘eklektik’ sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipergunakan untuk menguasai kosa kata dengan mudah.
Perbaikan sistem pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan formal diawali dengan Kurikulum Tahun 1976. Kurikulum tersebut mengembangkan sistem pengajaran bahasa Arab yang dikenal dengan all in one system. All in one system ini waktu itu merupakan gagasan Menteri Agama R I, Prof. Dr. HA. Mukti Ali. Metode yang digunakan adalah aural-oral approach, sesuai dengan perluasan tujuan pengajaran bahasa Arab, untuk mencapai semua kemahiran berbahasa (Abd. Rahman Shaleh: 1988, 8).
Dengan all in one system maka pengajaran didasarkan pada satu kesatuan materi dan bukan pada cabang-cabang materi bahasa Arab yang bermacam-macam. Dengan demikian materi pelajarannya meliputi materi membaca, mengungkapkan, menghafal, menulis, latihan nahwu sharaf, dan sebagainya yang kesemuanya saling berkaitan (Abd al-’Alim Ibrahim: tt., 34).
Kelihatan bahwa metode yang digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien.
Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu.
Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan (Chatibul Umam: 1980 43). Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa memahami makudnya, ke-mudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsug tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat.
Terdapat metode yang mendahulukan bercakap-cakap dan membaca. Metode ini amat disukai sebab bahasa yang dipelajari itu sudah boleh digunakan untuk bercakap-cakap dengan sesamanya. Metode demikian sesuai dengan prinsip belajar bahasa, bahwa belajar bahasa hendaknya tidak disibukkan dengan berbagai aturan tata bahasa tetapi cukup ditiru, dipahami dan dipakai dalam percakapan. Metode belajar bahasa secara langsung tanpa terjemahannya disebut sebagai metode langsung atau The Direct Method atau Natural Method atau Oral Method atau Modern Method atau Berlitz Method (Mahmud Junus: 1979, 23). Akan tetapi bagaimana bisa langsung bercakap-cakap kalau tidak memiliki kosa kata sama sekali? Karena itu perlu lebih dulu menghafal kosa kata.
Kalau dipergunakan metode langsung maka akan memakan waktu lama hanya untuk memahami satu atau dua kata saja. Apa salahnya bila diberikan kosa kata dengan terjemahannya langsung? Kemudian kata yang sudah dihafal itu digabung dengan kata yang lain yang juga sudah dipahami, selanjutnya dipergunakan dengan berulang-ulang dalam percakapan. Dalam memberikan makna atau arti kata tidak harus mempersulit diri, misalnya dengan keterangan langsung tanpa terjemah. Jadi perlu diperhatikan bahwa menerangkan dengan bahasa asalnya yang asing (Arab) itu hanya sekedar untuk motivasi agar murid atau mahasiswa tidak menggunakan bahasa sendiri, sehinga bersungguh-sungguh dalam mempergunakan bahasa Arab. Ini bisa disiasati cukup dengan menunjukkan artinya, kemudiuan tidak mengucapkannya kecuali dengan bahasa Arab.
Dari telaah terhadap berbagai metode, ada beberapa metode yang patut diperhatikan dalam menguasai kosa kata dengan efisien dan efektif. Pertama, Mimmem Method (Mimicry and Memorization Method). Metode ini untuk menghafal. Meskipun metode ini sering diterapkan dengan penyampaian kalimat utuh lebih dulu tetapi akan lebih baik bila diterapkan dengan penyampaian unsur paling kecil dalam kalimat, yakni kata. Dalam mempraktekkan Mimmem Method ini perlu digabung dengan metode kedua, yakni Language Control Method sehingga perolehan kosa katanya terkontrol mulai dari yang paling mudah dan sederhana sampai dengan yang paling sukar (Juwairiyah Dahlan, 1992, 116). Penggunaan metode ini akan menjadi benar-benar terkontrol bila diikuti dengan pemanfaatan metode ketiga, yaitu Phonetic Method, di mana metode ini lebih membiasakan pendengaran terhadap kata-kata terpendek dan selanjutnya pada kalimat yang panjang (Juwairiyah Dahlan: 1992, 112).
Penggunaan alat-alat peraga itu bisa disiasati dengan langsung saja diterangkan tanpa harus menghabiskan waktu dan beaya. Sebenarnya sederhana sekali belajar kosa kata dan cara menghafalnya, yakni dengan digabung dengan kata-kata yang lain agar cepat bisa menggunakan dan teringat terus. Kalau ini dikatakan sebagai metode eklektik maka sebutan itu perlu dibatasi dengan cara mengambil yang efektif dan efisien saja, sehingga tidak mempersulit diri seperti ketika memakai metode langsung dengan mempersiapkan alat peraga yang biasanya terlalu mahal yang ternyata hanya untuk memahami satu kosa kata saja. Adapun metode-metode lainnya itu hanya sekedar untuk mengusir kebosanan.
Dalam hal teori mengajarkan bahasa Arab, maka dikenal ada dua, yakni teori kesatuan (Nadhoriyat al-Wihdah) dan teori bagian-bagian (Nadhoriyat al-Furu’). Untuk yang pertama sesuai de-ngan teori gestalt yakni memahami secara keseluruhan lebih dulu selanjutnya memahami bagian-bagian terkecil yang perlu dipahami (Mahmud Junus: 1979, 26). Dalam kenyataannya dua teori tersebut akan dipakai pada kebutuhan tertentu, tidak bisa dipisahkan dalam arti tidak diperlu-kan salah satunya dalam praktek pembelajaran bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa pada kasus tertentu diperlukan penelaahan untuk bagian-bagian terkecil. Oleh karena itu kedua terori tersebut akan diperlukan pada waktu yang berbeda. Tidak perlu diperdebatkan keunggulan dan kelemahannya karena setiap teori memiliki kelemahan dan juga keunggulan.
Adapun gambaran konkret untuk bahan ajar materi kosa kata kiranya dapat dipergunakan buku Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Imam Zarkasyi dan Imam Syubani: t.t.) yang mana setiap awal bahasannya dimulai dengan pengenalan kosa kata lebih dulu. Penggunaan buku tersebut tidak harus dengan metode langsung yang bisa memakan waktu lama tetapi cukup sederhana dengan efektif dan efisien dalam memberikan penjelasan arti untuk masing-masing kosa kata. Modifikasi metode ‘eklektik’ sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipergunakan untuk menguasai kosa kata dengan mudah.
4. Metode Pembelajaran Gramatika (Nahwu-Sharaf)
Disebutkan bahwa mengajarkan gramatika pada mulanya, tidak dipentingkan, melainkan dengan diselipkan pada waktu pelajaran bercakap-cakap dan membaca. Dipandang salah bila mengajarkan buku ilmu nahwu “Ajrumiyah” pada permulaan, sementara subyek didik belum mengetahui bahasa Arab sedikitpun. Subyek didik tidak akan dapat belajar kaedah suatu bahasa bila belum mengetahui kata-kata bahasa itu (Mahmud Junus: 1979, 24). Mengajarkan nahwu dan sharaf atau ta’rif-ta’rifnya hendaknya setelah pandai bercakap-cakap dan membaca dalam bahasa Arab (Mahmud Junus: 1979, 26).
Menurut sistim lama, nahwu sharaf adalah pelajaran yang mula-mula dalam pelajaran bahasa Arab. Menurut sistim yang baru di Mesir bahwa nahwu sharaf itu belum diajarkan di kelas 1, 2, 3, dan 4 sekolah Ibtidaiyah. Hanya di kelas 5 dan 6 baru diajarkan sedikit demi sedikit, yaitu sekedar dua jam pelajaran dalam seminggu. Di Sekolah Menengah Pertama baru diajarkan nahwu sharaf dengan teratur (Mahmud Junus: 1979, 81). Jadi pembelajaran ilmu nahwu baru dimulai setelah mu-rid-murid sudah memiliki kosa kata dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ilmu nahwu dan sharaf itu merupakan ilmu tata kata. Ilmu tersebut baru bisa dipergunakan dengan semestinya setelah ada kata-kata yang akan di-tata (diatur). Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu dianjurkan dimulai lebih dulu dengan pengenalan kosa kata yang akan ditata atau dengan menunjukkan lebih dulu kosa kata yang sudah tertata dengan sempurna dalam sebuah kalimat dengan pengertian yang utuh. Pengenalan kosa kata itu melalui pelajaran muhadatsah, muthola’ah, dan mahfudhat atau hafalan kalimat-kalimat yang mudah dan pendek (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika dianjurkan untuk dipergunakan metode istimbath, yaitu mulai dengan beberapa misal kemudian sampai mendapatkan kaedah (ta’rif). Misal-misal tersebut hendak-nya dalam kalimat sempurna, Misal-misal itu diambil dari kisah pendek atau dari sepotong bacaan, bukan dari misal yang tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Kaedah-kaedah itupun tidak perlu dipaksakan untuk dihafal secara tekstual, agar tidak mematikan otak untuk berfikir. Misal-misal itu diberikan sebanyak mungkin serta menarik dan mempunyai pengertian yang benar. Contoh-contoh yang telah lama (sudah tidak relevan) dihindari. Kemudian subyek didik berlatih membuat dan memberi contoh sendiri, supaya mereka aktif dalam pelajaran. Latihan demikian ini perlu sesering mungkin (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika tidak perlu dijelaskan lebih dulu hal-hal yang syadz (jarang dipakai, aneh-aneh atau pengecualian), karena akan menyulitkan ingatan atau menyebabkan kebingungan. Perlu diperbanyak uslub-uslub yang berlaku saja, tidak perlu diberikan contoh yang keliru sebagai latihan untuk dibetulkan, karena metode demikian ini menyusahkan dan bertentangan dengan metode-metode pendidikan yang baik, tetapi hendaknya lebih diperbanyak contoh-contoh yang betul saja agar tertanam yang benar itu dalam pikiran. Selanjutnya untuk latihan dan bimbingan maka diberikan latihan penerapan kaedah-kaedah nahwiyah dengan bimbingan terus-menerus melalui koreksi catatan yang dibuat (Abubakar Muhammad: 1981, 85-6).
Dari gambaran anjuran di atas, yang tentunya berdasarkan pengalaman yang lalu, maka akan sangat efektif dan efisien bila pembelajaran nahwu-sharaf mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Penyiapan bacaan ringan yang mengandung kalimat atau ungkapan untuk contoh yang akan dijadikan pembahasan berkaitan dengan suatu topik gramatika.
2. Pemahaman terhadap bacaan ringan dengan berbahasa Arab sederhana.
3. Pembahasan kalimat atau ungkapan contoh dari segi gramatikanya.
4. Penyimpulan dan penyusunan kaedah gramatika untuk contoh yang telah dipersiapkan.
5. Pelatihan sebagai repetisi dengan membuat contoh lain sesuai kaedah yang dihasilkan.
Lima langkah tersebut disusun demikian ringkas untuk memudahkan ingatan. Masing-masing langkah berdasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran bahasa. Pada langkah pertama maka contoh yang dipersiapkan bukan kalimat lepas, tetapi kalimat yang berkaitan dengan pemahaman lainnya sehingga mudah untuk diingat, seperti dalam sebuah cerita. Langkah kedua merupakan kegiatan me-mahami dan atau menguraikan maksud contoh dengan bahasa Arab sederhana, bisa juga memakai bahasa harian yang ‘Amiyah sekedar untuk membantu kalau belum bisa menggunakan bahasa dengan baik. Langkah ketiga mendiskusikan bentuk kata dari segala seginya sampai dengan i’rabnya. Langkah keempat berusaha membuat kaedah tata bahasa bersama-sama dan selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaedah yang sudah ada. Langkah terakhir adalah upaya agar diperoleh keterampilan berbahasa dengan cara mene-rapkan kaedah tersebut pada percakapan tertentu atau dengan menunjukkan kalimat yang sepadan dalam teks-teks bahasa Arab.
Demikian pembelajaran gramatika diselipkan pada pemahaman terhadap bacaan, yang berarti pembelajaran gramatika itu sudah didahului dengan belajar kosa kata dan setelah bisa bercakap-cakap meskipun dengan sederhana.
Adapun buku-buku gramatika bahasa Arab yang hanya berisi contoh-contoh kalimat lepas yang ada selama ini, maka peman-faatannya bisa sekedar untuk bahan rujukan dan untuk menambah ingatan serta pendalaman lebih lanjut bagi para senior. Dengan demikian maka pembelajaran ilmu nahwu-sharaf menjadi mudah karena sudah didahului dengan pemahaman terhadap contoh yang ditampilkan. Masalahnya akan muncul pertanyaan: “Kalau sudah dapat memahami percakapan berbahasa Arab maka untuk apa mempelajari ilmu nahwu sharaf?”
Memang, ilmu nahwu-sharaf dipakai agar dapat memahami maksud ungkapan atau kalimat bahasa Arab dalam segala bentuknya. Dengan ilmu nahwu-sharaf itu pula subyek didik dapat mengungkapkan bahasa Arabnya secara lisan dengan betul sesuai dengan tradisi bahasa Arab standar sehingga dapat dipahami oleh pihak yang mendengar atau oleh pihak yang membaca bila ungkapan itu dituliskan.
Dari kajian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran ilmu nahwu-sharaf itu erat kaitannya dengan pem-belajaran bahasa Arab fusha (standar). Pada tataran percakapan sederhana yang mudah dipahami maka ilmu nahwu-sharaf tidak begi-tu diperlukan. Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu-sharaf tidak begitu menarik perhatian kecuali bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam pemakaian bahasa Arab fusha. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “mampu berbicara bahasa Arab” yang dianjurkan sebelum mempelajari ilmu nahwu-sharaf itu adalah mampu berbicara sederhana atau dengan bahasa ‘Amiyah, tanpa terikat aturan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar ilmu nahwu-sharaf tersebut adalah dalam rangka membetulkan ungkapan-ungkapan bila terdapat kekeliruan yang menyebabkan tidak dapat dipahami.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 73-86
_____________________
Kepustakaan
Abd al-’Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al’Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma’arif tt.).
Abd. Rahman Shaleh, Sistem Pengajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendiikan Formal, dalam Mimbar Ulama (Jakarta: No. 127 Tahun XII Edisi Maret 1988).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981).
Anonim, Al-’Arabiyah al-Muyassaroh ‘Ala Thoriqot al-Qiro’ah (Surabaya: Sentra kajian bahasa IAIN Sunan Ampel:1998).
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Imam Zarkasyi dan Imam Syubani, Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Gontor Ponorogo: Trimurti, t.t.).
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Al Ikhlas, 1992).
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Qur’an) (Jakata:PT Hidakarya Agung, 1979).
Muhammad Ali al-Khulli, Asalib Tadris al-Lughah al-’Arabiyah (Riyadh, Al-mamlakah al-’Arabiyah as-Sa’ufiyah, 1982).
Muljanto Sumardi et. al., Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI, 1973).
Muljanto Sumardi et.al., Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Sri Utari Subyakto Nababan, MetodologiPengajaran Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Suyitno, Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa (Yogyakarta: Hanindita, 1986).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 85-6.
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaranb Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).Lang
Willian Francis Mackey, Language Teaching Analyses (London: Longman, 1974).
Disebutkan bahwa mengajarkan gramatika pada mulanya, tidak dipentingkan, melainkan dengan diselipkan pada waktu pelajaran bercakap-cakap dan membaca. Dipandang salah bila mengajarkan buku ilmu nahwu “Ajrumiyah” pada permulaan, sementara subyek didik belum mengetahui bahasa Arab sedikitpun. Subyek didik tidak akan dapat belajar kaedah suatu bahasa bila belum mengetahui kata-kata bahasa itu (Mahmud Junus: 1979, 24). Mengajarkan nahwu dan sharaf atau ta’rif-ta’rifnya hendaknya setelah pandai bercakap-cakap dan membaca dalam bahasa Arab (Mahmud Junus: 1979, 26).
Menurut sistim lama, nahwu sharaf adalah pelajaran yang mula-mula dalam pelajaran bahasa Arab. Menurut sistim yang baru di Mesir bahwa nahwu sharaf itu belum diajarkan di kelas 1, 2, 3, dan 4 sekolah Ibtidaiyah. Hanya di kelas 5 dan 6 baru diajarkan sedikit demi sedikit, yaitu sekedar dua jam pelajaran dalam seminggu. Di Sekolah Menengah Pertama baru diajarkan nahwu sharaf dengan teratur (Mahmud Junus: 1979, 81). Jadi pembelajaran ilmu nahwu baru dimulai setelah mu-rid-murid sudah memiliki kosa kata dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ilmu nahwu dan sharaf itu merupakan ilmu tata kata. Ilmu tersebut baru bisa dipergunakan dengan semestinya setelah ada kata-kata yang akan di-tata (diatur). Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu dianjurkan dimulai lebih dulu dengan pengenalan kosa kata yang akan ditata atau dengan menunjukkan lebih dulu kosa kata yang sudah tertata dengan sempurna dalam sebuah kalimat dengan pengertian yang utuh. Pengenalan kosa kata itu melalui pelajaran muhadatsah, muthola’ah, dan mahfudhat atau hafalan kalimat-kalimat yang mudah dan pendek (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika dianjurkan untuk dipergunakan metode istimbath, yaitu mulai dengan beberapa misal kemudian sampai mendapatkan kaedah (ta’rif). Misal-misal tersebut hendak-nya dalam kalimat sempurna, Misal-misal itu diambil dari kisah pendek atau dari sepotong bacaan, bukan dari misal yang tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Kaedah-kaedah itupun tidak perlu dipaksakan untuk dihafal secara tekstual, agar tidak mematikan otak untuk berfikir. Misal-misal itu diberikan sebanyak mungkin serta menarik dan mempunyai pengertian yang benar. Contoh-contoh yang telah lama (sudah tidak relevan) dihindari. Kemudian subyek didik berlatih membuat dan memberi contoh sendiri, supaya mereka aktif dalam pelajaran. Latihan demikian ini perlu sesering mungkin (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran gramatika tidak perlu dijelaskan lebih dulu hal-hal yang syadz (jarang dipakai, aneh-aneh atau pengecualian), karena akan menyulitkan ingatan atau menyebabkan kebingungan. Perlu diperbanyak uslub-uslub yang berlaku saja, tidak perlu diberikan contoh yang keliru sebagai latihan untuk dibetulkan, karena metode demikian ini menyusahkan dan bertentangan dengan metode-metode pendidikan yang baik, tetapi hendaknya lebih diperbanyak contoh-contoh yang betul saja agar tertanam yang benar itu dalam pikiran. Selanjutnya untuk latihan dan bimbingan maka diberikan latihan penerapan kaedah-kaedah nahwiyah dengan bimbingan terus-menerus melalui koreksi catatan yang dibuat (Abubakar Muhammad: 1981, 85-6).
Dari gambaran anjuran di atas, yang tentunya berdasarkan pengalaman yang lalu, maka akan sangat efektif dan efisien bila pembelajaran nahwu-sharaf mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Penyiapan bacaan ringan yang mengandung kalimat atau ungkapan untuk contoh yang akan dijadikan pembahasan berkaitan dengan suatu topik gramatika.
2. Pemahaman terhadap bacaan ringan dengan berbahasa Arab sederhana.
3. Pembahasan kalimat atau ungkapan contoh dari segi gramatikanya.
4. Penyimpulan dan penyusunan kaedah gramatika untuk contoh yang telah dipersiapkan.
5. Pelatihan sebagai repetisi dengan membuat contoh lain sesuai kaedah yang dihasilkan.
Lima langkah tersebut disusun demikian ringkas untuk memudahkan ingatan. Masing-masing langkah berdasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran bahasa. Pada langkah pertama maka contoh yang dipersiapkan bukan kalimat lepas, tetapi kalimat yang berkaitan dengan pemahaman lainnya sehingga mudah untuk diingat, seperti dalam sebuah cerita. Langkah kedua merupakan kegiatan me-mahami dan atau menguraikan maksud contoh dengan bahasa Arab sederhana, bisa juga memakai bahasa harian yang ‘Amiyah sekedar untuk membantu kalau belum bisa menggunakan bahasa dengan baik. Langkah ketiga mendiskusikan bentuk kata dari segala seginya sampai dengan i’rabnya. Langkah keempat berusaha membuat kaedah tata bahasa bersama-sama dan selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaedah yang sudah ada. Langkah terakhir adalah upaya agar diperoleh keterampilan berbahasa dengan cara mene-rapkan kaedah tersebut pada percakapan tertentu atau dengan menunjukkan kalimat yang sepadan dalam teks-teks bahasa Arab.
Demikian pembelajaran gramatika diselipkan pada pemahaman terhadap bacaan, yang berarti pembelajaran gramatika itu sudah didahului dengan belajar kosa kata dan setelah bisa bercakap-cakap meskipun dengan sederhana.
Adapun buku-buku gramatika bahasa Arab yang hanya berisi contoh-contoh kalimat lepas yang ada selama ini, maka peman-faatannya bisa sekedar untuk bahan rujukan dan untuk menambah ingatan serta pendalaman lebih lanjut bagi para senior. Dengan demikian maka pembelajaran ilmu nahwu-sharaf menjadi mudah karena sudah didahului dengan pemahaman terhadap contoh yang ditampilkan. Masalahnya akan muncul pertanyaan: “Kalau sudah dapat memahami percakapan berbahasa Arab maka untuk apa mempelajari ilmu nahwu sharaf?”
Memang, ilmu nahwu-sharaf dipakai agar dapat memahami maksud ungkapan atau kalimat bahasa Arab dalam segala bentuknya. Dengan ilmu nahwu-sharaf itu pula subyek didik dapat mengungkapkan bahasa Arabnya secara lisan dengan betul sesuai dengan tradisi bahasa Arab standar sehingga dapat dipahami oleh pihak yang mendengar atau oleh pihak yang membaca bila ungkapan itu dituliskan.
Dari kajian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran ilmu nahwu-sharaf itu erat kaitannya dengan pem-belajaran bahasa Arab fusha (standar). Pada tataran percakapan sederhana yang mudah dipahami maka ilmu nahwu-sharaf tidak begi-tu diperlukan. Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu-sharaf tidak begitu menarik perhatian kecuali bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam pemakaian bahasa Arab fusha. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “mampu berbicara bahasa Arab” yang dianjurkan sebelum mempelajari ilmu nahwu-sharaf itu adalah mampu berbicara sederhana atau dengan bahasa ‘Amiyah, tanpa terikat aturan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar ilmu nahwu-sharaf tersebut adalah dalam rangka membetulkan ungkapan-ungkapan bila terdapat kekeliruan yang menyebabkan tidak dapat dipahami.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 73-86
_____________________
Kepustakaan
Abd al-’Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al’Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma’arif tt.).
Abd. Rahman Shaleh, Sistem Pengajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendiikan Formal, dalam Mimbar Ulama (Jakarta: No. 127 Tahun XII Edisi Maret 1988).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981).
Anonim, Al-’Arabiyah al-Muyassaroh ‘Ala Thoriqot al-Qiro’ah (Surabaya: Sentra kajian bahasa IAIN Sunan Ampel:1998).
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Imam Zarkasyi dan Imam Syubani, Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Gontor Ponorogo: Trimurti, t.t.).
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Al Ikhlas, 1992).
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Qur’an) (Jakata:PT Hidakarya Agung, 1979).
Muhammad Ali al-Khulli, Asalib Tadris al-Lughah al-’Arabiyah (Riyadh, Al-mamlakah al-’Arabiyah as-Sa’ufiyah, 1982).
Muljanto Sumardi et. al., Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI, 1973).
Muljanto Sumardi et.al., Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Sri Utari Subyakto Nababan, MetodologiPengajaran Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Suyitno, Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa (Yogyakarta: Hanindita, 1986).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 85-6.
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaranb Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).Lang
Willian Francis Mackey, Language Teaching Analyses (London: Longman, 1974).
Subscribe to:
Posts (Atom)